Tugas Komunikasi dan Etika Bisnis
Makalah
Maraknya Peredaran Obat-obatan Palsu
Oleh:
Haryo Yudotomo
NIM 040510364
Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga
Tahun 2007
Pendahuluan
Artikel
Awas Obat Palsu di Sekitar Kita
TEMPO Interaktif, Jakarta:Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) selama kurun Januari-Juni 2005 berhasil menemukan 14 jenis obat palsu yang beredar di pasar domestik. Jumlah ini meningkat pesat dibanding tahun lalu yang hanya 6 item obat palsu.
Obat-obatan tersebut adalah Amoksan kapsul, Broadced, Cefat 500 kapsul, Clacef injeksi, Daonil tablet, Dextamin tablet, Engerix B Vaksin, Fansidar tablet, Infanrix vaksin, Kalfoxin injeksi, Obat tetes mata cap Mata Alami, Ponstan kaplet, Taxegram injeksi, dan Triacef injeksi.
Menurut Kepala BPOM Sampurno, obat-obatan palsu tersebut umumnya berasal dari pasar gelap yang beredar di toko-toko atau warung. "Kami menyarankan masyarakat membeli obat di apotik, karena sudah jelas jalurnya dan tercatat dengan cermat,"ujarnya.
Obat-obatan palsu itu dijual dengan harga yang lebih murah dibanding obat yang dijual lewat jalur resmi. Obat-obatan palsu itu umumnya berupa obat-obatan yang laris, untuk penyakit kronis, dan gaya hidup. "Tapi belum dapat diidentifikasi secara jelas siapa yang memasok obat palsu di pasar gelap,"kata Sampurno.
Untuk membasmi jaringan penjualan obat palsu itu, BPOM, terus melakukan investigasi insentif. Selain itu BPOM juga telah menerbitkan kebijakan yang mewajibkan setiap importir bahan baku obat untuk memperoleh persetujuan dari BPOM.
Sampurno memastikan kebijakan ini bukan bertujuan mempersulit proses perizinan tapi untuk mencegah penyalahgunaan bahan baku obat yang diimpor. Salah satu modus yang digunakan pemalsu adalah memanfaatkan kelebihan impor bahan baku untuk membuat obat.
Sampurno minta agar hukuman untuk pemalsu obat diperberat, karena tidak hanya menimbulkan kerugian finansial tapi juga membahayakan kesehatan masyarakat. "Sanksi yang diberikan paling lama enam bulan penjara, harusnya pelanggar dihukum lebih berat," ujarnya.
Kepala Bidang Industri Gabungan Perusahaan Farmasi, Ferry A. Soetikno mendesak pemerintah bersama-sama menegakkan peraturan di bidang obat-obatan. Sebab menurutnya pemalsuan obat ini disamping merugikan perekonomian juga merugikan masyarakat.
Dikutip dari: Tempo Interaktif, Jumat, 05 Agustus 2005 | 06:34 WIB
Rumusan Masalah
Apakah yang menjadi penyebab maraknya peredaran obat palsu?
Bagaimana tindakan pemerintah dalam menyikapi hal tersebut?
Apakah tindakan yang dilakukan pemerintah selama ini cukup efektif dalam mengatasi masalah tersebut?
Solusi apa yang bisa dilkukan untuk memabantu menghambat peredaran obat terlarang?
Bab II
Analisis Masalah
Perindungan Konsumen
Undang – Undang no. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berisi pernyataan, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Sedangkan di dalam undang-undang itu juga disebutkan arti perlindungan konsumen. “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.” Melalui definisi tersebut juga dapat dismpulkan bahwa konsumen memperoleh perindungan hukum apabila ada hak-haknya yang dilanggar.
Konsumen adalah pengguna terakhir dari suatu produk di dalam siklus bisnis yang mana tidak memperjualbelikan kembali barang/ produk yang dibelinya. Konsumen juga merupakan salah satu stakeholder atau pihak yang berkepentingan di dalam bisnis. Tanpa adanya konsumen bisnis tidak berjalan dengan semestinya, sehingga seringkali para pelaku bisnis melakukan segala cara dalam memanjakan konsumennya.
Untuk mencapai kesuksesan secara maksimal di dalam bisnis, konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral dan itu merupakan syarat yang mutlak harus dilakukan. Jika dikaitkan dengan teori etika, maka kedua hal ini sangat berhubungan, yaitu apabila perlakuan yang baik akan menimbulkan manfaat yang baik pula.
Jika dikaitkan dengan teori etika ini, seharusnya pembeli diperlakukan benar-benar diperlakukan seperti raja, karena di dalam salah satu teori etika yaitu utilitarisme menekankan suatu tindakan yang dilakukan harus memiliki manfaat bagi banyak orang yang dalam hal ini adalah konsumen. Namun apa yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia tidaklah seperti demikian. Para pelaku bisnis hanya berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya, sehingga yang terjadi adalah pelanggaran atas hak-hak konsumen. Menurut John F. Kennedy, konsumen memiliki empat hak dasar, yaitu
The Right to Safe Products (Hak manggunakan barang/produk secara aman)
The Right to be Informed about Products (Hak informasi atas produk)
The Right to Definite Choices in Selectng Products (Hak menentukan pilihan produk)
The Right to be Heard Regarding Consumer Interest (Hak untuk didengar)
Pemerintah sebagai penguasa dan otoritas tertinggi di negeri ini juga telah mengeluarkan suatu Undang-Undang sebagaimana disebutkan di awal tadi, yaitu Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini disusun dengan tujuan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen sendiri. Di dalam undang-undang tersebut juga dicantumkan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
eselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak atas informasdi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlinndungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkannkompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban Konsumen adalah :
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
mengikurti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jas yang diperdagangkan;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban konsumen telah dilakukan sehingga mereka dapat menuntut haknya. Namun yang mereka dapatkan adalah produk pilihan mereka dengan kualitas yang patut dipertanyakan. Beberapa kasus yang marak seperti keracunan makanan akibat produk yang ditawarkan secara cuma-cuma, penggunaan zat kimia berbahaya di dalam obat nyamuk dan makanan, serta beberapa kasus lain yang pernah terjadi di Indonesia.
Tanggung jawab pelaku usaha telah dicantumkan dengan jelas di dalam undang-undang tersebut yang pada intinya merupakan hak-hak konsumen. Begitu pula hak pelaku konsumen yang sebenarnya adalah kewajiban dari konsumen. Dari sini terlihat bahwa pemerintah telah mengusahakan regulasi yang jelas antara tanggung jawab dan hak kedua belah pihak.
Peredaran Obat Palsu di Indonesia
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) selama kurun Januari-Juni 2005 berhasil menemukan 14 jenis obat palsu yang beredar di pasar domestik. Jumlah ini meningkat pesat dibanding tahun lalu yang hanya 6 item obat palsu.
Obat-obatan tersebut adalah Amoksan kapsul, Broadced, Cefat 500 kapsul, Clacef injeksi, Daonil tablet, Dextamin tablet, Engerix B Vaksin, Fansidar tablet, Infanrix vaksin, Kalfoxin injeksi, Obat tetes mata cap Mata Alami, Ponstan kaplet, Taxegram injeksi, dan Triacef injeksi.
Menurut Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Total omzet perdagangan obat palsu di Tanah Air diperkirakan mencapai Rp2 triliun-Rp4 triliun, atau sekitar 10%-20% dari pasar obat nasional sebesar Rp20 triliun-Rp21 triliun.Bahkan data World Health Organization (WHO) menyebutkan peredaran obat palsu di negara-negara berkembang mencapai 25%. Tingginya peredaran obat palsu ini diduga karena para produsen obat ilegal belum dijerat dengan hukum tegas sehingga mereka seperti berada di atas angin dengan kondisi hukum yang ada di Indonesia. Belum ada vonis pengadilan yang dapat menimbulkan efek jera bagi para produsen dan distributor terkait dengan pengedaran obat palsu ini. Hukuman ringan seperti masa percobaan justru seperti menyuruh orang untuk terus melanggar. Tentu saja inilah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab aparat hukum di Indonesia.
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Sampurno mencontohkan, minimarket atau supermarket yang tertangkap basah menjual makanan atau minuman kedaluwarsa hanya dihukum denda Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hal itu dapat dihukum berat karena membahayakan kesehatan konsumen. Di sini dapat dilihat betapa ringannya sanksi yang dibebankan.
Tindakan Pemerintah
Komisi IX DPR pada suatu waktu telah melakukan rapat dengar pendapat dengan Badan POM. Dari rapat tersebut disimpulkan bahwa yang dibutuhkan untuk mencegah pengedaran obat pasu adalah ketegasan aparat hukum.
Pada kesempatan itu, melalui ketuanya, Ribka Tjiptaning, Komisi IX DPR mendesak Badan POM lebih giat memerangi peredaran obat ilegal dan makanan berbahaya dengan memotong distribusinya dan mengawasi ketat produk makanan demi melindungi masyarakat.
Akan tetapi, desakan tersebut tidak disertai keputusan Komisi IX untuk memanggil pihak yudikatif, yang dinilai Badan POM kurang mendukung upaya melindungi konsumen melalui keputusan pengadilannya.
Beberapa langkah pengawasan Badan POM yang telah dilakukan di antaranya meningkatkan kemampuan tenaga pengawas di daerah-daerah, kerja sama dengan polisi, dan pihak bea cukai.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI telah menindak tegas 202 toko dan kios yang didapati menjual obat keras dan obat palsu (ilegal). Dari jumlah itu, 150 toko dan kios tengah disidik untuk selanjutnya diajukan ke pengadilan. Sisanya, dalam pembinaan dan pengawasan Badan POM.
Ke-202 kios dan toko obat itu merupakan bagian dari 373 toko dan kios obat yang diperiksa oleh Badan POM dalam sebuah operasi gabungan tingkat nasional yang dilakukan serentak tanggal 1 dan 2 Oktober 2003.
Dari operasi gabungan yang juga melibatkan polisi itu, Badan POM mengamankan 141 item obat tanpa izin edar. Semuanya berlabel impor, termasuk dua item obat yang mengandung codein.
Selain 141 item obat tanpa izin edar, juga ditemukan tiga item obat palsu di Bandung dan Palembang. Obat yang dipalsu itu, antara lain incidal (biasa digunakan untuk vitamin atau antialergi), Ponstan 250 mg, dan Ponstan 500 mg. Ada juga 839 item obat keras, 28 item obat program, dan 15 item obat psikotropika (diazepam).
Operasi tersebut diteruskan karena baru mencakup sebagian kecil toko dan kios obat. Misalnya, di Jambi, diperiksa 70 kios atau toko, Yogyakarta 58, Lampung 13, Jakarta hanya 13, Semarang 13, Surabaya 22, Aceh 2, Medan 8, dan sisanya tersebar.
Sulit sekali menentukan jenis obat keras, ilegal, atau yang asli. Oleh karena itu, masyarakat mudah ditipu. Mereka lebih memilih obat yang murah, ternyata kualitasnya tidak bagus. Bahkan, dokter juga tidak mempunyai kemampuan membedakan mana obat yang asli atau palsu.
BPOM terus melakukan investigasi insentif. Selain itu BPOM juga telah menerbitkan kebijakan yang mewajibkan setiap importir bahan baku obat untuk memperoleh persetujuan dari BPOM.
Kepala Badan POM, Sampurno, memastikan kebijakan ini bukan bertujuan mempersulit proses perizinan tapi untuk mencegah penyalahgunaan bahan baku obat yang diimpor. Salah satu modus yang digunakan pemalsu adalah memanfaatkan kelebihan impor bahan baku untuk membuat obat.
Tingginya konsumsi obat palsu juga dipicu oleh perbedaan harga obat asli dan palsu yang cukup besar terlebih di tengah daya beli masyarakat yang merosot saat ini. Salah satu contohnya adalah, Obat tetes mata cap Mata Alami dan Ponstan kaplet, yang dijual pada separuh dari harga aslinya. Tentunya ini menjadi daya tarik bagi masyarakat dengan kemampuan daya beli yang pas-pasan.
PPN sebesar 10% turut memebri sumbangsih atas mahalnya harga obat-obatan ini. Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), mengusulkan agar pemerintah menghapus PPN ini dalam struktur harga sebagai upaya meringankan beban pasien. Menurut Parulian, bila PPN 10% ini dihilangkan tentu secara signifikan akan mengurangi harga walaupun struktur harga lain seperti rantai distribusi juga berpotensi menyebabkan harga semakin tinggi.
IPMG menilai SK Menkes No.068/ 2006 tentang pencantuman nama generik bakal menyebabkan tambahan biaya produksi dalam penggantian kemasan untuk menyesuaikan seperti yang diatur dalam SK itu.
Biaya yang dibutuhkan untuk mengganti kemasan atas 18.000 produk obat di pasaran diperkirakan US$8 juta. Padahal peraturan mengenai ukuran huruf hingga 80% dan jenis huruf pada kemasan tidak akan memberi nilai lebih kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah juga perlu memikirkan kembali kebijakan-kebijakannya yang berpotensi meningkatkan harga-harga obat tadi.
Efektifitas Tindakan Pemerintah
Pemerintah sudah berusaha melakukan beberapa yang dianggap perlu untuk mengatasi obat – obat palsu. Namun pemalsuan obat ternyata sulit diberantas. Penyebabnya selain mahalnya harga obat berkualitas adalah egoisme industri farmasi yang tidak mau bersatu untuk memberantasnya. Kesulitan lainnya adalah masalah obat palsu masuk KUHP sehingga persoalannya menjadi wewenang polisi. Padahal, yang paham soal obat adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Salah seorang karyawan yang bekerja pada pabrik penghasil obat-obatan mengaku bahwa pabriknya telah berusaha melindungi produknya agar tidak dipalsukan, di antaranya melindungi kemasan produknya dengan hologram. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Di pasaran justru telah beredar obet yang dimaksud, bahkan lengkap dengan stiker hologram yang sama persis dengan produk aslinya. Lebih lanjut, yang terjadi kemudian adalah industri obat berkaitan tidak bersatu untuk menanggulangi masalah ini
Penegakan hukum juga sangat lemah. Terbukti beberapa pelaku pemalsu obat yang ditangkap aparat ternyata kemudian dilepas kembali. Hal ini dikarenakan lemahnya koordinasi antara aparat Kepolisian dengan Badan POM. Mereka seolah berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan pembenaran atas suatu kasus. Kepolisian bergerak dengan dasar KUHP, sedangkan Badan POM atas dasar penelitian yang mereka lakuan sendiri. Mereka tidak mampu melakukan sinergi, padahal itulah yang dibutuhkan karena Kepolisian dapat menuntut berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh Badan POM dari lapangan.
Sanksi adalah salah satu fakator yang dapat mebuat para pelaku kejahatan menjadi jera. Undang-undang Perlindungan Konsumen pun telah membahasnya. Berikut adalah sanksi yang dikenakan atas pelanggaran tersebut.
S A N K S I
Bagian Pertama Sanksi Administratif
Pasal 60
Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang- undangan.
Bagian Kedua Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan. pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasa! 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
perampasan barang tertentu;
pengumuman keputusan hakim;
pembayaran ganti fugi;
perintah penghenlian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
pencabutan izin usaha.
Dengan sanksi yang ada sebenarnya dapat dilakukan tuntutan kepada pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran, terutama yang mengalami kerugian berupa fisik tubuh bahkan nyawa. Namun kenyataan yang terjadi adalah akhirnya para pelanggar tersebut medapatkan hukuman yang tidak setimpal karena mereka hanya dihukum jauh dari tuntutan maksimal.
SOLUSI
Pemerintah dengan Badan POM dan Kepolisian adalah alat pemerintah dalam mencegah meluasnya peredaran obat palsu di masyarakat karena sangat sulit membedakan mana obat yang asli, mana yang palsu kecuali jika menelitinya di laboratorium barulah diketahui. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah pemberitahuan kepada masyarakat dengan mendapatkan dukungan informasi dari para pelaku industri farmasi sehingga terhindar dari bahaya mengonsumsi obat palsu.
Berdasarkan peraturan, semua produk obat yang beredar di pasaran wajib diregistrasi BPOM. Produk tersebut harus melalui tahapan evaluasi BPOM seperti aspek keamanan, kualitas, dan kemanfaatan produk, serta mendapatkan izin edar melalui perolehan nomor registrasi. BPOM juga mewajibkan produk obat untuk memenuhi ketentuan label yang berlaku. Label harus memberikan informasi yang benar, obyektif, lengkap, dan tak menyesatkan kepada konsumen sesuai dengan aspek perlindungan konsumen.
Ketegasan hukum juga menjadi solusi yang sangat tepat dalam memutus rantai penyaluran obat-obat palsu ini. Kerjasama polisi dan BPOM sangat diharapkan yaitu dengan saling mendukung masing-masing pihak.
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sebagai lembaga independent di Indonesia yang mengawasi masalah konsumen di Indosnesia telah melakukan beberapa tindakan dia antaranya edukasi, yaitu melalui pendidikan dan pemberdayaan konsumen obat, kemudian melakukan survei pelayanan kefarmasian di apotek dan audit apotek bersama Pemerintah dan Asosiasi.
Kesimpulan
Obat-obatan palsu telah marak beredar di Indonesia. Penyebarannya terasa bagitu mudah dan cepat, karena pada tahun-tahun belakangan ini ditemukan bahwa peredaran obat palsu telah mencapai 10% dari obat-obat yang beredar di masyarakat. Obat-obat palsu yang harganya lebih miring cepat menjadi primadona di masyarakat terlebih dengan kondisi ekonomi seperti sekarang ini. Padahal obat yang mereka bei belum tentu terjamin khasiatnya, bahkan mungkin bisa menimbulkan efek samping di kemudian hari. Pemerintah menetapkan PPN atas obat-obat tersebut 10% dia atas harga jual yang harga jualnya itu sendiri juga sudah cukup mahal. Produsen berpendapat bahwa tingginya harga jual juga dipengaruhi pemerintah sendiri yaitu dengan label obat yang cukup mahal, sehingga produsen tidak dapat berbuat apa-apa.
Badan POM sendiri telah melakukan tindakan preventif dengan menguji terlebih dahulu obat-obat yang beredar di pasaran. Namun apa yang terjadi adalah masih lolosnya obat-obat itu dari pengujian. Bahkan obat-obat palsu tersebut mendapat otorisasi yaitu dengan stiker hologram yang menjadi bukti orisinalitas dari obat tersebut.
Lemahnya koordinasi dengan kepolisian juga menjadi penyebab lemahnya sanksi yang dapat dijatuhkan kepada tersangka pengedar. Bukti-bukti yang diajukan oleh Badan POM seolah dijatuhkan begitu saja oleh Kepolisian yang dengan mudahnya para pengedar tersebut kembali bebas atau dihukum dengan sanksi yang amat sangat ringan untuk mereka. Padahal dengan undang-undang yang ada mereka dapat dijerat dengan sanksi yang lebih berat.
Pihak independent seperti YLKI seharusnya juga dapat dijadikan rujukan pemerintah dalam menindak tersangka pengedar. YKLI dengan kemandiriannya lebih bebas dalam menilai keadaan suatu pasar.
Saran
Pengedaran obat palsu di mayarakat telah mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini tidak lepas dari lemahnya kerjasama di antara pelaku usaha, pemerintah, dan kepolisian. Mereka semua harus menilai apakah obat-obatan yang beredar asli atau palsu karena tingkat control masyarakt terhadapt pengedarannya masih terbatas. Masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam menilai keaslian obat-obat tersebut. Inilah tanggung jawab semua pihak dalam melaksanakan edukasi kepada konsumen masyarakat. Perlu diadalkan sosialisasi yang lebih luas akan bahaya obat palsu ini, Karena selain merugikan konsumen, seluruh komponen yang terikat di dalam rantai bisnis obat-obatan juga akan terganggu.
Pemerintah dapat melakukan beberapa tindakan seperti surveillance(memata-matai), pengawasan terhadap produk import, peraturan yang memadai, penegakan hukum, sanksi yang menjerakan, menyediakan akses pengaduan, menginformasikan temuan obat palsu pada public, dan memberikan informasi yang membantu konsumen membuat pilihan.
Produsen dapat melakukan berbagai upaya pengamanan pada produk, edukasi pada seluruh rantai distribusi, pengawasan di tempat-tempat penjualan, mengumumkan temuan pemalsuan obat, dan menyediakan akses informasi/pengaduan.
Masyarakat sendiri harus meningkatkan pengetahuan mereka akan obat dan mereka juga harus berani bertindak jika mereka menemukan hal-hal yang salah.